Sunday 21 March 2021

Awug Trekker: Catatan Kecil dari Gunung Putri

    Gunung Putri yang berada di antara Desa Jayagiri dan Desa Cikole Lembang, Kabupaten Bandung Barat adalah salah satu dari beberapa gunung yang melingkupi Kota Bandung. Wilayah Gunung Putri ini berada di bawah pengelolaan KPH Bandung Utara.
    Gunung Putri ini memiliki legenda yang berkaitan dengan Sangkuriang. Konon di sinilah lokasi persembunyian Dayang Sumbi ketika dikejar-kejar oleh Sangkuriang (yang adalah anaknya) yang jatuh cinta kepada Dayang Sumbi. Konon dari sini jugalah Sangkuriang yang kesal karena ditolak cintanya, menendang perahu yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk mempersunting Dayang Sumbi hingga menjadi Gunung Tangkuban Perahu (kebayang gak sih gedenya perahu yang dibuat Sangkuriang juga kekuatan Sangkuriang bisa menendang perahu segede itu?). Menurut legenda juga, di sinilah Dayang Sumbi menghilang dan katanya berubah menjadi sekuntum bunga jaksi. Nah kayak apa itu bunga jaksi? Konon juga sampai sekarang keberadaannya masih dicari.

    Nah, destinasi trekking Awug Trekker (bersama Timik-Timik Trekker Lintang) bulan Maret ini adalah Gunung Putri-Benteng Jayagiri-Puncak Jayagiri-Cikahuripan. Kalau berdasarkan brosur jaraknya sekitaran 8-9K pulang pergi dengan elevasi 310m. 

    Pukul 04.20, saya dan Titan sudah menunggu Didik dan Pepy yang akan berangkat bareng ke TKP. Karena mepet sholat Subuh, akhirnya kami sholat dulu di kantor sebelum berangkat. Perjalanan lancar mengingat masih sangat pagi dan jalanan sangat sepi, kami tiba di TKP pukul 5.15. Dari parkiran kami langsung naik ke Geger Bintang Matahari. Mata dan kaki yang masih dalam kondisi setengah ngantuk langsung diajak naik ke elevasi sekitaran 180-an meter. Berasa banget napas langsung ngos ngosan. Ini baru 200 meteran paling.Untunglah sampai Geger Bintang yang udah rame dengan trekker berbagai angkatan dan camper dari berbagai penjuru wilayah, ngosngosan itu terobati dengan pemandangan yang cantik. Di bawah terhampar Bandung yang masih bermandi cahaya sedikit tertutup kabut, sementara matahari mulai menyembul malu-malu. Cantik? Pastinya dong, sayang memang kamera HP nggak sanggup merekam kecantikan karya Sang Pencipta ini, tapi mata-mata yang menyaksikan merekam semua dengan baik.






    Kami berkumpul sambil menunggu trekker lain datang. Karena kelamaan juga nunggu akhirnya beberapa dari kami jalan duluan. Dan keputusan itu cukup benar mengingat jalur jalannya akan bikin antri kalau dilalui sekaligus oleh banyak orang. Selain itu, jadinya akan bergerombol, menyalahi prokes.
    Dari Geger Bintang kami naik ke puncak Gunung Putri. Gunung Putri ini memiliki ketinggian 1587 MDPL. Gak terlalu tinggi tapi cukup lah kalau buat jalan-jalan mah. Di puncaknya terdapat tugu Sespim dan pemandangan cantik ke arah lembah Jayagiri dan barisan gunung di seberangnya (nah saya kurang paham ini gunung apa aja, yang saya tahu bentuknya dari jauh hanya Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu saja, yang lainnya bentuknya menurut saya sama hahaha).









    Puas berfoto di puncak Gunung Putri (eniwei, mas Tribud berkontribusi membawakan papan bertuliskan ketinggian Puncak Gunung Putri ini sebagai kenang-kenangan dari Awug Trekker buat para pemburu MDPL haha) kami lanjut ambil jalur ke kiri sedikit menurun ke arah Benteng Jayagiri. Setelah berjalan sekitaran 1K kami tiba di lokasi Benteng Jayagiri. Titan seneng banget liat ini, dia sih membayangkan posisi pertempuran (duuh) yang mungkin pernah terjadi di sini. 

    Benteng Jayagiri ini dibangun di sekitaran abad 19 sebagai benteng pertahanan militer Belanda terhadap serangan dari arah utara. Dulunya di lokasi ini terdapat pos pengamatan serangan udara (ini berada di atas benteng bentuknya seperti sumur, bener kata si Titan ini). Tahun 1942 pasukan KNIL yang bertahan di sini berhasil dikalahkan melalui serangan darat dan udara oleh Jepang yang sudah mengusasi wilayah utara (Subang). 












    Dari sini kami melanjutkan perjalan ke arah Barat sekitar 700 meter menuju check point berikut, warung Bu Ai. Sambil menunggu yang lain, beberapa teman termasuk Titan menikmati gorengan dan kopi panas. 
    Trip kali ini memang warung friendly sekali, total kami akan melalui 4 warung: bu Ai, Warung Kumis (di sinilah kami nyasar pas pulang di trip pertama ke Jayagiri, mestinya lewat orchid forest kami nyasar di jalur lain), warung jegkol dan terakhir warung legend abah Jayagiri. Jadi si Titan cukup senang dia, membayangkan gorengan dan indomie rebus. Jalurnya sendiri, hingga warung jengkol, lumayan enggak terlalu berat, alias relatif datar tapi banyak persimpangan. Mas Pras dan Didik menandai rute pakai pita orange di jalur-jalur yang ada bercabang supaya rombongan berikut enggak pakai salah jalan.  






    Sampai di warung jengkol kami mulai buka-buka bekal. Didik buka alpukat, Tarto yang baru ketemuan di sini buka ketan serundeng andalan dan sekalian mengalihkan sekoteng van cihanjuang (bah, ini ransel tambah berat, untung minyak goreng pesenan Bontor udah dialihkan, kalau enggak rontok ini pundak, mana masih ada seliter lavender lemonade dingin, plus 2 botol lain yang masih penuh pula).

    Menjelang ke puncak Jayagiri, Titan mogok lagi. Dia enggak mau jalan ke atas. Alhamdulillah ada beberapa teman yang tinggal di sini enggak ikut ke atas, termasuk Abdul, jadilah saling menemani haha.
    Jalan ke Puncak Jayagiri lumayan nanjak walau jaraknya enggak jauh. Matahari udah tinggi, udah mulai panas jadi kami foto bentar doang trus lanjut jalan lagi menuju Cikahuripan. Nah, on the way menuju Cikahuripan kami melihat 2 ekor kuda yang enggak diikat lagi asik merumput. Di sinilah ternyata ada yang bikin merinding (saya masih merinding sampe saat menulis ini), tapi gak usah dibahas lah ya. Konon memang di wilayah Jabar ini banyak gunung yang masih mistis Gunung Putri ini salah satunya, maybe berkaitan dengan legendanya juga.


    Perjalanan dari Warung Jengkol menuju Cikahuripan via Puncak Jayagiri gak terlalu jauh, sekitaran 2K. Jalanan setelah puncak Jayagiri relatif datar dan enak. Kami bertemu beberapa kubangan bekas offroad yang membuat kami harus melipir (sampai ada yang sepatunya nyangkut di lumpur kubangan dan akhirnya kaki mendarat tanpa alas kaki di lumpur). Tanjakan lumayan lagi yang menuju Benteng Cikahuripan.
    Benteng ini juga termasuk salah satu benteng pertahanan Belanda. Benteng yang sebenarnya berukuran cukup luas ini bagian luarnya masih terlihat kokoh. Luar biasa memang mereka buat bangunan yang usianya sudah mau seabad tapi masih kokoh walau sudah dihajar waktu dan cuaca. Sayang memang karena tidak tahu (enggak ada yang kasih tau kalau benteng ini masih bisa dijelajahi), kami enggak lama-lama di sana. Namun demikian, walau cuman sebentar, kami sempat melihat Kang Andi sang maestro membuat gambar line art Benteng Cikahuripan. Keren banget, dalam waktu sebentar (sambil ditanya-tanyain pula), selesai deh 1 gambar yang keren banget. Tabik, Kang (ternyata saya tetanggaan sama maestro yang bikinin desain logo timik-timik euy).










    Dari Cikahuripan kami jalan balik. Kali ini kami ambil jalur jalan batu menuju warung jengkol. Enggak lama, perjalanan yang bikin telapak kaki sakit-sakit (sekitaran 1,5K) kami tiba di warung jengkol. Di perjalanan kami sempat papasan sama rombongan trekker yang menuju Cikahuripan (perjalanan kali ini diikuti oleh buayaaaaaaak banget peserta lintas angkatan, dengan kaos sponsor salah satu caketu IA ITB, via Abdul thanks kaosnya ya, Dul).
    Di warung jengkol kami istirahat agak lama, sempat menikmati lemon tea panas di situ. Si Titan malah sempet ngabisin seporsi indomie telur. Puas dia cita-citanya terealisasi mengisi tenaga sebelum lanjut ke tikum akhir.



     Sekitaran jam 12 kami sudah melewati Benteng Jayagiri lagi. Sambil menunggu akan buka botram di mana, kami duduk-duduk dan malah cerita-cerita seram yang suka naik gunung hahaha. Ini kacau. Untung gak pakai lama-lama kami putuskan jalan ke arah camping ground dan buka flysheet. Perut sudah mulai lapar mengingat sudah jam makan siang.
    Akhirnya kami menemukan tempat enak di bawah pohon-pohon pinus. Langsung buka flysheet, Titan malah langsung buka hammock dibantuin Kang Andi dan anteng di situ sampe mau pulang. Sementara Mba Retno membuka bekal andalan: cobek dan bahan buat bikin sambal. Langsung deh duet sama Didik meracik sambal belacan dadakan. Saya yang tadinya mau makan di bawah aja, jadi tergoda lapar. Saya hanya beli nasi hitam buat dibawa pulang dan dimakan di rumah, jadi enggak beli lauk apa-apa. Akhirnya melihat sambal dadakan yang menggoda (dan dengan segera licin tandas), saya ikutan minta nasi, sambal dan ikan wader goreng (sambil makan Didik pakai cerita kalau ikan wader ini makannya ee hahahaha). Alhamdulillah perut terisi juga, sambalnya maknyus (cuman emang puedeesnya, buat saya yang level pedesnya menuju nol itu, tingkat dewa). Abis makan sambal itu, langsung digelontori lavender lemonade buat ngilangin pedes yang berasa menggigit, segeer. Matur suwun, Mba Retno. Sambalnya uenakkk (dan Mba Retno ngulek sambal sampe 3 sesi hahaha).











    Sudah kenyang, cuaca sudah mulai mendung, gelegar halilintar sudah mengguruh, kami pulang duluan menuju parkiran. Jarak sekitaran 1K dengan elevasi 160m menuju tempat parkir ini lumayan bikin lutut gemeteran. Si Titan akhirnya melepas sepatu karena jarinya mentok mentok (lagian kamu ini sepatunya enggak diikat, ngeyel). 
    Alhamdulillah, hari ini cuaca cerah hingga sampai rumah, walau macet dalam perjalanan pulang tapi hat tetap senang. Total jarak tempuh sekitaran 11,5K dengan elevasi sekitaran 300-an, ada yang mencatat sejak naik ke Geger Bintang sampai turun adalah 485m  (pencatatan saya enggak terlalu akurat gara-gara keputus putus catatannya, dan saya baru mulai menyalakan garmin mulai dari Geger Bintang menuju puncak Gunung Putri). 
 

Catatan: Foto: dokumen pribadi dan kontribusi dari trekkers. Terima kasih buat sumbangan-sumbangan gambarnya.